Tuesday, July 17, 2012

Merawat Tradisi Ala Komunitas 5 Gunung


Malam itu suasana magis terasa kental di Sanggar Mendut milik seniman serba bisa Sutanto. Asap tembakau dari kompor minyak dan bejana tertutup dengan cerobong mengepul memenuhi ruang.
Disudut rumah nampak, kumpulan orang bermake up dengan kostum lurik  siap untuk menggelar sebuah pertunjukan.
Narasi dalam bahasa jawa mengalir jadi pembuka pementasan malam itu. Itu adalah narasi yang menjelaskan alur cerita yang akan dipentaskan. Sebuah pertunjukan tari yang disuguhkan padepokan gunung andong kepada penonton yang hadir malam itu. Mereka yang menonton adalah anggota Komunitas lima gunung, dan lakon tari yang dimainkan diberi judul “Janthil” atau Jaran Kenthil, yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan kuda gila.
Komunitas lima gunung lahir dari proses pencarian jati diri Sutanto yang kala itu jadi seniman musik. Bosan dengan kota dan segala macam keruetan didalamnya, Tanto menyingkir menuju desa, melakukan kontemplasi dan menambatkan hatinya pada desa-desa dilereng gunung di seputaran Magelang.
Akhirnya dari perjalanan pencarian jati diri Sutanto, munculah ide membangun komunitas lima gunung, yang meliputi Andong, Merbabu, Sumbing, Merapi dan Menoreh.
Banyak orang akhirnya tahu akan keberadaan komunitas ini, lewat Festival Lima Gunung yang jadi agenda tahunannya. Sama mungkin jika melihat secara kasat mata apa yang ditontonkan dalam tiap-tiap Festival Kesenian. Yang berbeda dari Festival lima gunung adalah partisipannya dan kemandiriannya.
Mereka yang terlibat didalamnya mayoritas petani dan penyelenggaraan festival tanpa sponsor dari pihak manapun, alias mandiri dari sumbangan anggota komunitas saja.
Kritis dan Jujur
Kritik tajam akan kondisi nyata yang dihadapi bangsa ini mengalir deras dari mulut lelaki paruh baya itu tanpa tedeng aling. Industri rokok amerika yang masuk Indonesia dan membunuh petani tembakau dilereng gunung sumbing jadi sorotannya.
Itu yang menjadi alasan ada asap tembakau yang memenuhi hampir seluruh ruang di Sanggar Mendut. Inilah protes sunyi mereka pada Industri rokok yang tidak memberikan kesejahteraan pada petani tembakau.
“Asap ini bukanlah kontaminasi dari bas, bis, bus atau alat transportasi modern. Asap ini adalah do’a. Asap ini adalah ritual kristiani, ritual Islami dan juga kejawen. Ritual manusia yang tidak seperti anda bayangkan dari pengertian-pengertian dari buku yang bisa dibeli di gramedia.” ucap tanto ditengah pementasan.
Ya…bahasa lugas dan jujur yang selalu keluar dari mulut para petani. Kesederhanaan yang mengajarkan mereka bahasa kejujuran, yang mungkin sudah langka di kota-kota besar.
Multi Agama dan Rukun
Bukan hanya kejujuran yang diterapkan dalam komunitas ini, toleransi yang jadi barang langka saat ini justru gemah ripah dalam komunitas lima gunung. Tokoh-tokoh lintas agama terlibat dalam membangun komunitas ini, salah satunya adalah KH. Yusuf Chudlori atau yang lebih akrab dipanggil Gus Yusuf. Pemimpin pondok pesantren salafiyah Tegalrejo ini menjaga nilai-nilai luhur budaya jawa dalam pesantren yang dipimpinnya.
“Saat Gus Dur nyantri disini pada bapak saya, Gus Dur pernah melihat kejadian yang membuat dia binggung pada awalnya. Ada dua kelompok di satu desa yang bertengkar demi prioritas yang menurut masing-masing benar. Kelompok pertama menginginkan uang yang dikumpul dari masyarakat buat bangun masjid, nah kelompok yang kedua menginginkan beli peralatan gamelan. Akhirnya ayah saya KH. Chudlori memutuskan untuk menyerahkan uang masyarakat untuk membeli peralatan gamelan. wal hasil itu yang membuat Gus Dur binggung. Akhirnya saat ini karena peralatan gamelan tadi desa itu bisa membangun masjid yang mewah.” cerita Gus Yusuf.
Islam itu rahmatan lil al amin, jadi toleransi dan melindungi yang minoritas itu penting. Ini yang akhirnya menyatukan kita dalam komunitas lima gunung, tambahnya.

No comments:

Post a Comment