Tuesday, July 24, 2012

ORANG RIMBA DI BIBIR ZAMAN


Ngankus dan anak-anak rimba


Sudah ratusan tahun lamanya Orang Rimba hidup dalam hutan-hutan di Provinsi Jambi, Indonesia. Mereka hidup bergantung dari sumber daya alam yang melimpah dan hidup makmur didalamnya. Namun sejak era 1970-an, kehidupan serta budaya mereka mulai terusik dengan kehadiran para pendatang. Mulai dari pemegang Hak Pengusahaan Hutan, Transmigran, dan Perkebunan yang berorientasi komersial. Posisi orang rimba semakin termarjinalkan, konflik kerap terjadi dengan para pendatang. Seperti apa kehidupan orang rimba yang bertahan di bibir zaman?


Orang rimba di Jambi tersebar dalam tiga kabupaten.  Salah satunya terdapat di hutan Taman Nasional Bukit dua belas dengan jumlah sekitar 1.689 orang dan terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok orang rimba di desa Air Hitam Kampung SPI yang coba kami datangi.

Kepala Unit lapangan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi , Jusia Hari Abdi mengatakan, Bahwa mereka(orang rimba)  ada kesamaan dengan daerah minang dan Sumatera Selatan, karena ada pecampuran di dalamnya. ”Kalau dengan minang karena mengadopsi undang-undang dari sana, memang dalam sejarah mereka, mereka menyebut nenek moyang mereka berasal dari kerajaan pagaruyung. Artinya yang merantau ke Jambi dan akhirnya menikah dengan putri yang ada di sini. Jelas Abdi.”


Anak Rimba di TN Bukit Dua Belas - Jambi. Doc. Alfan
Sejarah tentang orang rimba di hutan Bukit Dua Belas, Jambi hingga saat ini masih menyisakan banyak perdebatan. Faktanya, mereka sudah sejak lama tinggal disini. Kehidupan komunitas orang rimba pada awalnya tertutup dengan dunia luar. Abdi menambahkan, Dalam sejarahnya mereka memang takut pada orang luar saat itu, sampai bahkan secara psikologis ketakutan mereka itu terhadap orang luar sampai lama sekali terpendam dan mulai membuka diri padatahun 1980-an. Dijelaskannya juga ketika  transmigrasi dimulai orang rimba baru berani keluar, tapi sebelum-sebelumnya itu mereka mulai takut untuk keluar dan pada saat itu mereka harus melalui perantara orang di luar dengan waris atau jernang. Ungkap Abdi.

Waris adalah istilah buat penghubung antara orang rimba dengan orang luar. Menurut kepercayaan leluhur mereka, orang luar bisa memberi  pengaruh buruk.  Namun kini mereka sudah lebih terbuka, sehingga keberadaan waris atau jernang sudah jarang dipakai.

Menurut Antropolog, Adi Prasetijo,  orang rimba adalah satu kelompok etnis yang tidak bisa terpisah dari satu kelompok kebudayaan. ”Mereka adalah satu kelompok suku bangsa, etnik minoritas yang sekarang menghadapi kondisi marjinal. Jadi satu kelompok etnik yang memang dia mengalami marjinalisasi dari perubahan-perubahan yang ada di luar sehingga mereka semakin terpojok, papar Adi.

Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi. Doc. Alfan
Orang rimba mengalami fase-fase marjinalisasi sejak dahulu. Bahkan hingga kini banyak kebijakan pemerintah mulai dari memberikan rumah hingga sekolah yang terintegrasi belum menyentuh akar persoalan yang dihadapi orang rimba.

“Pada waktu zaman kemerdekaan atau Pemerintah ada beberapa program pemerintah sendiri tidak membangun identitas mereka tetapi juga malah membuat mereka semakin marjinal untuk membuat mereka menjadi lebih modern, katakanlah seperti itu. Program-program Pemerintah sendiri dari kementerian sosial sendiri tidak membuat identitas mereka tetapi lebih modern. Dan itu yang menyebabkan mereka jadi marjinal, jelasnya.”

Menurut laki-laki yang akrab di sapa Tjicok ini, bahwa kondisi saat ini lebih membuat kehidupan mereka lebih parah lagi. Banyaknya perusahaan Kelapa sawit dan pertambangan yang masuk membuat orang rimba kehilangan hak miliknya. Banyak faktor tentang konflik mereka dengan dunia luar, tidak disebabkan satu faktor. Satu menurut saya intervensi dari dunia luar yang semakin masuk ke dalam. Karena wilayahnya mereka tinggal di dalam hutan dataran rendah. Jadi mereka hanya tinggal di hutan-hutang yang polanya sama. Tidak ke gunung, tetapi ke hutan yang cukup subur. Ini menarik bagi investor untuk mengambil, misalnya sawit dan segala macam.

Lebih jauh Adi mengatakan, meskipun orang rimba tinggal di dalam kawasan taman nasional yang dilindungi secara legal, tetapi hukum komunal di Indonesia tidak di akomodir. Ini juga menjadi hal yang akhirnya orang rimba tidak memiliki posisi tawar.

“Secara budaya mereka selalu ditekan oleh orang luar untuk berubah. Karena mereka dianggap tidak modern, primitif dan mereka harus mengikuti kebudayaan standar normal yang ada. In quote normal, misalnya harus beragama islam atau beragama yg diakui. Kemudian mempunyai tata hidup lingkungan yang sama, ungkapnya.”

Karena wilayah yang dijadikan wilayah buruan serta meramu orang rimba telah hilang, mengakibatkan konflik dengan para pendatang. Dengan daya bertahan hidup yang lemah pada kondisi modern membuat mereka kalah dengan beragam kepentingan yang ada. Untuk berladang, untuk kehidupan mereka sendiri sekarang sudah terbatas. Menjadi Taman Nasional sendiri juga mengurangi mereka untuk bertani, karenakan dilarang. itu satu ada batas-batas tertentu yang boleh. Ke dua untuk mengambil barang dari hutan karena hutannya semakin sedikit mereka juga nggak ada yang bisa diambil.

Nah, Jika tidak ada penyelamatan terhadap komunitas orang rimba, atau suku-suku asli lainnya, lima atau sepuluh tahun kedepan keberadaan orang rimba hanya tinggal cerita.

Bersama anak-anak rimba









No comments:

Post a Comment