![]() |
Ngankus dan anak-anak rimba |
Sudah ratusan tahun lamanya Orang Rimba hidup dalam hutan-hutan di Provinsi Jambi, Indonesia. Mereka hidup bergantung dari sumber daya alam yang melimpah dan hidup makmur didalamnya. Namun sejak era 1970-an, kehidupan serta budaya mereka mulai terusik dengan kehadiran para pendatang. Mulai dari pemegang Hak Pengusahaan Hutan, Transmigran, dan Perkebunan yang berorientasi komersial. Posisi orang rimba semakin termarjinalkan, konflik kerap terjadi dengan para pendatang. Seperti apa kehidupan orang rimba yang bertahan di bibir zaman?
Orang rimba di Jambi tersebar dalam tiga kabupaten. Salah satunya terdapat di hutan Taman
Nasional Bukit dua belas dengan jumlah sekitar 1.689 orang dan terbagi dalam
beberapa kelompok. Kelompok orang rimba di desa Air Hitam Kampung SPI yang coba
kami datangi.
Kepala Unit lapangan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi
, Jusia Hari Abdi mengatakan, Bahwa mereka(orang rimba) ada kesamaan dengan daerah minang dan Sumatera
Selatan, karena ada pecampuran di dalamnya. ”Kalau dengan minang karena
mengadopsi undang-undang dari sana, memang dalam sejarah mereka, mereka
menyebut nenek moyang mereka berasal dari kerajaan pagaruyung. Artinya yang
merantau ke Jambi dan akhirnya menikah dengan putri yang ada di sini. Jelas
Abdi.”
![]() |
Anak Rimba di TN Bukit Dua Belas - Jambi. Doc. Alfan |
Sejarah tentang orang rimba di hutan Bukit Dua Belas, Jambi
hingga saat ini masih menyisakan banyak perdebatan. Faktanya, mereka sudah
sejak lama tinggal disini. Kehidupan komunitas orang rimba pada awalnya
tertutup dengan dunia luar. Abdi menambahkan, Dalam sejarahnya mereka memang
takut pada orang luar saat itu, sampai bahkan secara psikologis ketakutan
mereka itu terhadap orang luar sampai lama sekali terpendam dan mulai membuka
diri padatahun 1980-an. Dijelaskannya juga ketika transmigrasi dimulai orang rimba baru berani
keluar, tapi sebelum-sebelumnya itu mereka mulai takut untuk keluar dan pada
saat itu mereka harus melalui perantara orang di luar dengan waris atau
jernang. Ungkap Abdi.
Waris adalah istilah buat penghubung antara orang rimba
dengan orang luar. Menurut kepercayaan leluhur mereka, orang luar bisa
memberi pengaruh buruk. Namun kini mereka sudah lebih terbuka, sehingga
keberadaan waris atau jernang sudah jarang dipakai.
Menurut Antropolog, Adi Prasetijo, orang rimba adalah satu kelompok etnis yang
tidak bisa terpisah dari satu kelompok kebudayaan. ”Mereka adalah satu kelompok
suku bangsa, etnik minoritas yang sekarang menghadapi kondisi marjinal. Jadi
satu kelompok etnik yang memang dia mengalami marjinalisasi dari
perubahan-perubahan yang ada di luar sehingga mereka semakin terpojok, papar
Adi.
![]() |
Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi. Doc. Alfan |
Orang rimba mengalami fase-fase marjinalisasi sejak dahulu.
Bahkan hingga kini banyak kebijakan pemerintah mulai dari memberikan rumah
hingga sekolah yang terintegrasi belum menyentuh akar persoalan yang dihadapi
orang rimba.
“Pada waktu zaman kemerdekaan atau Pemerintah ada beberapa
program pemerintah sendiri tidak membangun identitas mereka tetapi juga malah
membuat mereka semakin marjinal untuk membuat mereka menjadi lebih modern,
katakanlah seperti itu. Program-program Pemerintah sendiri dari kementerian sosial
sendiri tidak membuat identitas mereka tetapi lebih modern. Dan itu yang menyebabkan
mereka jadi marjinal, jelasnya.”
Menurut laki-laki yang akrab di sapa Tjicok ini, bahwa kondisi
saat ini lebih membuat kehidupan mereka lebih parah lagi. Banyaknya perusahaan
Kelapa sawit dan pertambangan yang masuk membuat orang rimba kehilangan hak
miliknya. Banyak faktor tentang konflik mereka dengan dunia luar, tidak
disebabkan satu faktor. Satu menurut saya intervensi dari dunia luar yang
semakin masuk ke dalam. Karena wilayahnya mereka tinggal di dalam hutan dataran
rendah. Jadi mereka hanya tinggal di hutan-hutang yang polanya sama. Tidak ke
gunung, tetapi ke hutan yang cukup subur. Ini menarik bagi investor untuk
mengambil, misalnya sawit dan segala macam.
Lebih jauh Adi mengatakan, meskipun orang rimba tinggal di
dalam kawasan taman nasional yang dilindungi secara legal, tetapi hukum komunal
di Indonesia tidak di akomodir. Ini juga menjadi hal yang akhirnya orang rimba
tidak memiliki posisi tawar.
“Secara budaya mereka selalu ditekan oleh orang luar untuk
berubah. Karena mereka dianggap tidak modern, primitif dan mereka harus mengikuti
kebudayaan standar normal yang ada. In quote normal, misalnya harus beragama
islam atau beragama yg diakui. Kemudian mempunyai tata hidup lingkungan yang
sama, ungkapnya.”
Karena wilayah yang dijadikan wilayah buruan serta meramu
orang rimba telah hilang, mengakibatkan konflik dengan para pendatang. Dengan
daya bertahan hidup yang lemah pada kondisi modern membuat mereka kalah dengan
beragam kepentingan yang ada. Untuk berladang, untuk kehidupan mereka sendiri
sekarang sudah terbatas. Menjadi Taman Nasional sendiri juga mengurangi mereka
untuk bertani, karenakan dilarang. itu satu ada batas-batas tertentu yang
boleh. Ke dua untuk mengambil barang dari hutan karena hutannya semakin sedikit
mereka juga nggak ada yang bisa diambil.
Nah, Jika tidak ada penyelamatan terhadap komunitas orang
rimba, atau suku-suku asli lainnya, lima atau sepuluh tahun kedepan keberadaan
orang rimba hanya tinggal cerita.
![]() |
Bersama anak-anak rimba |