Tuesday, July 24, 2012

Hompongan, Benteng terakhir Orang Rimba

Tumenggung Tarib saat menjelaskan tentang adat orang rimba
kepada mahasiswa Universitas Jambi, Foto Alfan

Hutan adalah sumber kehidupan bagi Orang Rimba di Bukit dua belas, Jambi, Indonesia. Masuknya para pendatang yang membuka lahan perkebunan kelapa sawit, jadi ancaman buat orang rimba. Tumenggung Tarib, berinisiatif untuk membangun pagar yang memisahkan wilayah orang rimba dengan pendatang yang dikenal dengan istilah Hompongan. Karena keberhasilannya menyelamatkan hutan dengan hompongan dia diberikan penghargaan dari Yayasan Kehati tahun 2000 dan memperoleh Kalpataru di tahun 2006 dari Pemerintah.


Siang itu Tumenggung Tarib sedang menjelaskan tentang Adat istiadat Orang rimba kepada sekelompok Mahasiswa saat kami mendatanginya. Tumenggung adalah pemimpin dalam struktur komunitas adat orang rimba. Tumenggung Tarib menuturkan keberhasilanya membangun hompongan ke pada kami hingga dia diganjar Kalpataru, penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup dari Pemerintah.

“Saya nih buat hompongan untuk menyelamatkan rimba, jadi rimba jangan sampai abis, karena orang rimba hidupnya didalam rimba. Jadi kalau rimba habis, kan orang rimba hidupnya dari dalam rimba. Begini pak, orang rimba nih kalau cari makanan di luar susah, tapi kalau dio nyari makanan didalam hutan itu dia bisa hidup. tutur Tarib. ”
Tumenggung Tarib saat menerima Kalpataru dari
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono/ Foto : Istimewa


Orang rimba sangat bergantung pada hutan, mereka masih menjalankan pola hidup komunal primitif yaitu berburu dan meramu untuk bertahan hidup. Membangun hompongan adalah langkah strategis melindungi komunitas orang rimba.  Tumenggung Tarib menjelaskan bagaimana ide hompongan itu bermula, kepada saya.  “ Iyo awalnya kito berladang bapak, jadi berladang dari tahun-ke tahun bikin memanjang, bikin batas, itu bikin hompongan. Jadi kareno kito berduo dengan orang rumah berunding. Nah macam mano kalau kito bikin hompongan, jadi kato orang rumah, ngapo bikin hampongan. Kito melarang rimbo ini, kalau adat orang Jambi, kalau sebelah ladang kanti itu tidak boleh diambi, samo dengan memotong leher.”

Ada kebiasaan yang sering dilakukan orang rimba, yaitu Belangun.  Belangun  adalah adat orang rimba yang berpindah tempat ketika ada keluarga atau kerabat meninggal.  Hal ini bisa dilakukan selama bertahun-tahun.  Ini juga yang ditanyakan kader-kader Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) - Warsi yang konsern mengadvokasi orang rimba kepada Tumenggung Tarib. “Jadi tahun ketahun itu  sampai Warsi tanyo,biasanya kan orang rimba itu pindah sana, pindah sini, berlandang situ berladang sana. Kok sekarang bapak disini terui berladang terui. Ah jadi saya ngomong, ah saya bikin hompongan. Untuk membatai antara trans dengan hutan supayo rimbo ini tidak habis, ujar tarib.”

Pagar Taman Nasional Bukit Dua Belas

Keberadaan orang rimba yang terus tergerus kepentingan perkebunan kelapa sawit dan tidak jelasnya batas-batas wilayah perkebunan dengan hutan menjadi alasan Tumenggung tarib membuat hompongan. Ditemani Ngangkus anak keenamnya kami menengok Hompongan yang dibangun cukup sederhanya. Dia  hanya menanam pohon karet yang mudah merawatnya sebagai batas kampung dan hutan. Sebelum ada hompongan, orang luar rimba masuk kehutan untuk mengambil kayu dan berladang. 


Tahun 2000 atas usulan kader KKI-Warsi, Tumenggung Tarib memperoleh penghargaan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) atas upayanya mempertahankan hutan lewat hompongan yang dibangunnya. Staff Komunikasi Yayasan Kehati, Diah R. Sulistiowati menjelaskan alasan yang membuat Tumenggung Tarib diberikan penghargaan.“Setelah nominasi biasanya dilakukan verifikasi lapangan kemudian diputuskan siapa pemenangnya, dan ditahun 2000 kita memutuskan pemenangnya pak tarib. Kenapa kita memutuskan pak tarib pemenangnya kenapa, karena sangat luar biasa yang dilakukan pak tarib. jelas sulis.”
Penulis bersama Tumenggung Tarib


Sulis juga menjelaskan hompongan yang dibuat oleh tumenggung tarib cukup sederhana. Dia hanya menanam karet sebagai pembatas wilayah orang rimba dan pendatang. " Kenapa karet karena mereka masih bisa mengambil getah karet itu. Tidak hanya asal tanam tetapi ada maknanya kenapa karet, tambah sulis."

Dia tanami sekelilingnya dengan karet sebagai penanda wilayah, jadi ketika ditanya mana wilayah orang rimba, mereka akan lebih mudah menjawabnya.  Tarib kini yang sudah memeluk agama Islam adalah pengusaha yang sukses, uang yang didapatnya dari Yayasan Kehati tidak dihamburkannya, melainkan didepositokan pada sebuah bank yang bunganya dipakai untuk modal usahanya kini. 

Apa yang Tumenggung tarib lakukan layak menjadi contoh bagi semua orang. Terlebih komunitas orang rimba yang terus-menerus termarjinalkan.

No comments:

Post a Comment