Feature


Orang Rimba Melawan Kebodohan

Karlina Guru Rimba. Doc. alfan
Orang Rimba yang hidup di Taman Nasional Bukit Dua Belas, kerap jadi korban penipuan warga pendatang. Mereka tergerak untuk bangkit melawan. Sebuah lembaga swadaya masyarakat memfasilitasi Orang Rimba belajar agar bebas dari kebodohan lewat pendidikan alternatif dalam rimba. Seperti apa cara anak-anak rimba melawan kebodohan?

Karena selalu menjadi objek penipuan para pengepul yang mereka sebut toke, anak rimba menjadi semangat untuk belajar dan melawan kebodohan. Sekolah di tempat ini memang jauh berbeda dari sekolah formal yang banyak orang rasakan. Tak ada murid yang berseragam. Juga tak ada hukuman ketika salah mengerjakan tugas.

“Akukan sudah terbayang udah mau mikirin bagaimana orang luar, sepertinya kalau kami jual barang-barang seperti jernang, dammar, getah karet, kami sepertinya selalu dibohongi toke-toke itu. Jadi aku ingin sekolah itu, bisa baca, tulis, hitung, jadi kita bisa sama-sama menghitung sama toke itu.itulah senangnya aku belajar, jadi kita nggak dibodoh-bodohi sama orang itu. Ujar Tembuku.”

Tembuku adalah kader pendidikan yang membantu fasilitator KKI-Warsi memberi pendidikan ke anak-anak rimba lainnya, dia kini duduk di kelas 2 SMP Satu Atap. Sudah lebih dari tiga tahun dia bersama anak-anak rimba lainnya belajar di sekolah yang sengaja di fasilitasi oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.

Tembuku merasakan betul manfaat belajar bersama di sekolah ini. ”Manfaatnya belajar disini agak membanggakan. Agak merasa bangga, agak merasa pikiran kita sangat luas.Kalau pikiran kita agak luas, kito kan bisa baca-baca apo itu surat-surat. Terus yang selama ini kami rasakan kalau kita udah jual-jual jernang udah lancar ngitung sendiri, udah tepat. Toke bilang sekian uangnya, kita hitung lagi. Hitung-hitung bersama, berarti pas itu.itulah yang sudah aku rasaiin itu. Itulah aku mau sekolah, udah ada buktinya kalau aku bisa menghitung barang udah dijual. Cerita dia kepada kami.”

Tembuku juga memiliki prestasi yang lumayan bisa dibanggakan. Dia berhasil memperoleh peringkat ke dua saat pembagian nilai akhir beberapa waktu lalu. Prestasi yang didapatkan oleh tembuku atau anak rimba lainnya tak bisa dilepaskan dari peran seorang guru.

Karlina, Guru Rimba

Dia adalah Karlina, Alumnus Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) ini, lebih memilih menjadi guru bagi anak-anak Orang Rimba nun jauh di tengah hutan belantara di Jambi, Indonesia. Saat saya menemuinya di sebuah kelompok orang rimba dalam hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, gadis lajang yang akrab dipanggil Karin ini sedang asik mengajar dua orang bocah rimba.

Memang sangatlah sedikit orang yang mau membaktikan dirinya buat kelompok masyarakat yang masih hidup dalam peradaban primitive dalam pandangan orang modern. Tahun 2009 Karin ini mengajukan lamaran pada KKI - Warsi.
“Pekerjaan seperti ini mungkin, walaupun banyak orang wah…tapi, bukan pekerjaan yang apa ya, yang dianggap. Kaya misalnya banker, misalnya gitu. Bukan pekerjaan yang diimpikan gitulah, ucap Karin.”

Walau orang tuanya memiliki pandangan lain, karin tetap memilih untuk masuk ke dalam hutan mendidik anak rimba. Menurutnya, pekerjaan yang dipilihnya punya kepuasan tersendiri dan menantang. Orang tuanya menginginkan karin sama seperti gadis lainnya yang bekerja dengan profesi formal. Kemauan keras karin akhirnya meluluhkan hati orang tuanya. ”Saya senang sama pekerjaan ini, ya sudalah kalau kamu senang. Kebetulan keluarga saya cukup demokratis kan, jelasnya.”

Bisa memberikan sesuatu bagi orang banyak merupakan kepuasan tersendiri bagi Karin. Dari anak yang belum bisa apa-apa menjadi mengerti banyak hal, jadi penghargaan terbesar. “Memberi manfaat bagi orang lain itu sesuatu yang…misalnya saya bertemu seorang anak yang ternyata dari tidak bisa menjadi bisa itu sesuatu yang sangat luar biasa loh. Walaupun bagi orang luar biasa saja, ah diluar juga banyak seperti itu. Tapi itu, maksudnya secara personal. Hal-hal kecil secara personal aja gitulah, ujar Karin sambil tertawa.”

Setiap hari Karin bersama anak rimba yang sudah menjadi kader pendidikan, keluar masuk hutan belantara. Hal ini dia lakukan bukan sebatas profesionalisme kerja, melainkan dedikasi untuk membebaskan anak-anak rimba dari kebodohan. Rapatnya hutan bukit dua belas tidak jadi halangan buat gadis kelahiran dua puluh tujuh tahun lalu. Lagi pula dia yang hobby mendaki gunung sudah biasa melakukan hal-hal seperti ini.

Minimnya guru yang mau mengajar dipelosok, membuat Karin mau mengorbankan masa mudanya untuk mendidik anak-anak rimba. Membebaskan mereka yang termarjinalkan dan tenggelam dalam kebodohan menjadi impiannya yang hingga saat ini terus dilakukan.

“Jadi dulu waktu masih kuliah gitu, saya pernah baca eh maksudnya beberapa kali sering baca berita atau lihat siaran di tv ya. Misalnya dibeberapa daerah di Indonesia misalnya ya, itu kekurangan guru, kadang saya mikir berapa sih lulusan keguruan di Indonesia ini. Perasaan ribuan, setiap tahun meluluskan ribuan tetapi kenapa dipelosok masih kekurangan guru gitu, imbuhnya.”

Semoga saja kedepan semakin banyak anak-anak muda seperti Karin yang berdedikasi dan memiliki cita-cita untuk membebaskan anak dipelosok Indonesia dari kebodohan.












No comments:

Post a Comment