Tuesday, July 17, 2012

Potret Buram Buruh Anak di Indonesia

Cecep Khaerudin gurandil muda di gunung pongkor
"Masih banyak hak-hak anak untuk sekolah dan bermain tercerabut karena kemiskinan. 2 konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 tentang usia minimum pekerja dan Nomor 182 tahun 1999 tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sudah di ratifikasi melalui turunannya yaitu Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2009. Lantas sejauh manakah Pemerintah menyelesaikan persoalan ini?"
Di Indonesia ada 6,5 juta anak-anak yang terpaksa bekerja karena kemiskinan. Dan 1,7 juta anak bekerja dalam situasi buruk, seperti  mereka yang bekerja dalam perut bumi bertaruh resiko kehilangan nyawa.
Cecep Khaerudin, bocah 14 tahun ini terpaksa bekerja menjadi penambang emas yang dalam bahasa lokal disebut gurandil.
“Dari umur 10 tahun, saya sudah mulai ke lubang (tambang) karena bapak sering sakit-sakitan. Cari uang susah, biar saya saja yg cari uang, ucap cecep. ”
Cecep dan beberapa anak lainnya terpaksa memilih meninggalkan sekolah karena kemiskinan yang membelit keluarganya.  Padahal mereka masih ingin sekolah.
Kondisi kemiskinan yang mendera sebagian masyarakat Indonesia, jadi pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai diatasi oleh pemerintah.
Arist Merdeka Sirait
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa gawe pemerintah, komitmen Pemerintah setelah melakukan ratifikasi terhadap konvensi ILO nomor 182 belum cukup berhasil. Menurutnya dari tahun ketahun Kementerian Tenaga Kerja yang diberi tugas untuk mengangkat anak-anak yang bekerja pada situasi buruk menjadi situasi yang lebih baik, angkanya cukup sedikit.
Tahun 2012 hanya ada 10 ribu anak yang tersebar di 86 kabupaten kota yang bisa terangkat. Masih sedikit yang berkurang dari angka 1,7 juta anak yang bekerja dalam situasi terburuk, seperti di Pertambangan, Wilayah Prostitusi, di wilayah bahan-bahan kimia dan di sector pekerja rumah tangga.
Jika angka ini terus bertambah, target Pemerintah untuk mencapai Millennium Development Goals (MDG’S) akan gagal.
“Komitmennya adalah dengan tidak membiarkan leading sector-nya ada pada Kementerian tenaga kerja, karena apa nggak mampu. Karena APBN nya juga  tidak mampu. Bantuan dari luar negeri seperti ILO juga tidak mampu menyelesaikan persoalan itu. Karena akar persoalannya kemiskinan, ujar Arist.”

Kemiskinan sumber persoalan

Sinergi antar Kementerian dan seluruh komponen masyarakat dibutuhkan untuk  segera menyelesaikan akar persoalannya, yaitu kemiskinan.
Anak-anak dikawasan ini tak punya pilihan. Pemerintah dan PT. Aneka tambang dianggap membiarkan kemiskinan terjadi di kawasan itu.
Arist menambahkan, seharusnya pemerintah yang meminta kepada pertambangan besar dan dianggap legal. Tetapi kenapa ketika masyarakat mau menikmati itu dianggap illegal, tetapi ketika masyarakat meminta tanggung jawab sosialnya masyarakat terabaikan dan tetap miskin. Ini kegagalan pemerintah.
Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, mengakui kekurangan Pemerintah dalam menyelesaikan problem buruh anak.  Dia menjelaskan kalau penanganan problem pekerja anak merupakan problem turunan dari MDG’S yakni mengurangi  angka kemiskinan. Menurutnya program mengembalikan anak yang bekerja ke sekolah merupakan satu program yang sangat terkait dengan perkembangan ekonomi.
Jika kita melihat data, jumlah pekerja anak yang kita (Pemerintah) tarik untuk kembali sekolah itu meningkat terus dari tahun ketahun, imbuhnya.
Data Kemeterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa di tahun 2010 ada 3000 orang anak yang berhasil ditarik kembali untuk sekolah di 50 kabupaten/kota. Tahun 2011 3.360 orang anak di 56 kabupaten/kota, dan tahun 2012 ada 10.750 orang anak di 84 kabupaten/kota.
Mengembalikan anak yang menjadi buruh merupakan program prioritas pemerintah saat ini, dan menjadi program pendukung utama dari Program Keluarga Harapan.
“Kami akui juga bahwa ini tergantung dari situasi-situasi diluar pekerja anak itu sendiri. Misalnya begini, banyak anak sudah berhasil kita tarik untuk sekolah. Tetapi problemnya adalah dilokasi tempat dia tinggal tidak ada sekolah atau dia sulit mencapai sekolah karena jauh, harus nyeberang sungai, jembatannya ga ada karena ambrol. Nah ini problem, jadi anaknya sudah mau ditarik, sudah mau sekolah,sekolahnya nggak ada atau ngga bias ke sekolah, ujar Dita.”

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Keberadaan perusahaan besar seperti PT. Aneka Tambang di Gunung Pongkor, yang pada 2011 berhasil meraih laba bersih sekitar 1,93 triliun rupiah juga punya peran penting menghapuskan kemiskinan.
Ada tanggung jawab sosial yang harus dijalankan perusahaan dan mengembalikan para buruh anak kesekolah.
Menurut mantan aktivis buruh, Dita Indah Sari CSR perusahaan-perusahaan atau BUMN harusnya difokuskan pada daerah-daerah disekitar mereka. Jadi daerah sekitarnya dulu yang seharusnya dibangun dibereskan dulu baru kemudian merambah kedaerah diluarnya yang lain. Dita juga menambahkan, BUMN sekarang sudah mulai bergerak kearah situ, bergeser dan menjadi lebih fokus pada daerahnya masing-masing.
Akhirnya bukan hanya peran Pemerintah saja yang bisa mengembalikan para buruh anak kesekolah. Peran orang tua dan lingkungan menjadi sangat penting untuk tidak memperkenankan anak dibawah usia 15 tahun untuk bekerja.
Menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang-orang dewasa dan membangkitkan kembali sektor pertanian di desa mungkin bisa jadi jawaban agar anak terlepas dari tanggung jawab untuk bekerja. (alfan)

Gurandil dalam tambang

No comments:

Post a Comment